MALANG - SURYA- “Tempat sosis di mana ya,” tanya sang ibu kepada anaknya yang duduk di sekolah dasar. “Itu Bu, di ujung,” ujar sang anak. Maka dengan yakin sang ibu langsung mengambil beberapa bungkus sosis dan memasukkannya ke dalam keranjang, lalu melanjutkan kegiatan belanja. Sampai di kasir sang ibu baru tahu bahwa sosis yang diambil ternyata sosis babi. Sontak saja, ia kaget dan langsung membatalkan untuk membeli sosis tersebut. Secara umum, memang tidak ada yang berbeda antara sosis babi yang diambil dan sosis sapi yang hendak dibeli.
Kisah itu ditulis Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dalam halaman internetnya agar masyarakat mewaspadai beredarnya sosis tidak halal.
Dan faktanya, sosis sapi yang berada di pasaran ternyata belum tentu sepenuhnya halal. Ini bukan mengada-ada, melainkan kajian ilmiah dari seorang guru besar bidang teknologi hasil pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, Prof Dr Noor Harini.
“Saya menyampaikan ini agar masyarakat muslim lebih waspada dengan makanan yang mereka konsumsi. Bagaimanapun juga, hak mereka untuk mendapatkan makanan halal, harus dilindungi,” kata Noor kepada Surya, beberapa waktu lalu.
Apa yang disampaikan Noor pantas membuat resah. Apalagi, ia mengatakan, banyak sekali produk olahan hewani (selain ikan, telur, dan susu olahan) yang biasa dikonsumsi masyarakat, di antaranya: sosis, daging kaleng (kornet), salami, meat loaf, steak, dendeng, dan lain-lain, yang semuanya belum tentu halal meski berbahan utama daging sapi.
Kehalalan produk olahan ini, ingat Noor, tidak hanya bergantung pada daging sebagai bahan utamanya saja, tetapi juga sangat tergantung pada bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan produk olahan tersebut. Ia memisalkan sosis untuk menjelaskan hal ini.
Diterangkan Noor, di Jerman dan negara barat umumnya, terdapat aturan penamaan sosis. Jika hanya disebut ‘sosis’, maka sudah otomatis dari babi, baik itu lemak maupun dagingnya. Jika disebut ‘sosis sapi’, maka dagingnya sebagian besar dari daging sapi, namun lemaknya bisa berasal dari lemak babi. “Jika sosisnya semuanya dari sapi dan tanpa bahan dari hewan lain, maka penamaannya harus disebutkan nama hewannya dan ditambahkan kata murni, jadi harus `sosis sapi murni`,” terangnya.
Dari kasus penamaan ini, Noor menyimpulkan, pemeriksaan kehalalan sosis impor yang masuk ke Indonesia harus dilakukan dengan tingkat ketelitian tinggi. Masalah muncul karena apa yang ada dalam kandungan sebuah bahan pakan, tidak bisa dideteksi orang awam.
Masyarakat, selama ini hanya melihat produk dari namanya, sebagai contoh ‘sosis sapi’, yang—padahal—bisa saja mengandung lemak babi. “Apalagi, di negara-negara tersebut, penyembelihan hewan tentu juga tidak dengan syariat Islam, sehingga jelas memengaruhi kehalalan sebuah produk,” kata Noor, yang baru saja dilantik menjadi guru besar oleh UMM ini.
Apa yang disampaikan Noor ini dibenarkan oleh pemerhati Islam sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang M Zainul Fadli. Menurutnya, masyarakat muslim wajib lebih teliti, dengan tidak menelan mentah-mentah sebuah tulisan produk makanan. “Terutama, waspadailah produk daging hewan yang tidak disembelih di negara muslim. Kalau negara barat, yang sudah menerapkan pembedaan produksi pakan untuk negara muslim, baru Australia dan New Zealand (Selandia Baru, Red)” kata Zainul yang juga anggota MUI Kota Malang ini.
Apalagi, Zainul mengingatkan, penentuan kehalalan sebuah produk di Indonesia bisa dibilang belum ketat. Parameternya, negara-negara Timur Tengah belum terlalu mengakui sertifikasi halal dari Indonesia. “Biasanya, negara-negara itu baru merasa lega kalau makanan itu sudah dibilang halal oleh Malaysia. Saya tidak tahu, apakah itu masalah politis ataukah memang mekanisme kita yang belum seketat Malaysia,” kata Zainul.
Hanya, dari segi mekanisme, cara Malaysia menentukan kehalalan menurut Zainul memang selangkah lebih maju dari MUI-yang dalam hal ini sebagai penentu kehalalan sebuah produk di Indonesia. “Sebagai contoh, kalau ada industri makanan asal negara non-muslim yang mengajukan sertifikasi kehalalan, mereka bakal memeriksa secara detail. Apa saja bahan pendukung makanan secara rinci, sampai bagaimana cara menyembelihnya,” ujar Zainul yang juga pengurus NU Kota Malang ini.
Baik Noor maupun Zainul berharap, pemerintah dan ulama lebih serius dalam membuat peraturan dan pengaturan untuk menjamin kehalalan suatu produk pangan. Kata Noor Harini, selain membekali umat Islam dengan pengetahuan yang cukup, para ulama harus bekerja sama dengan para ilmuwan dalam menentukan kehalalan suatu bahan atau produk pangan. Sementara menurut Zainul, akan lebih baik bila ada lebih dari satu penentu sertifikasi kehalalan-selain MUI-karena hal itu dipandangnya lebih objektif dan kompetitif.
Sumber : http://www.surya.co.id/2010/02/27/kajian-ilmiah-prof-dr-noor-harini-awas-sosis-sapi-belum-tentu-halal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar